Saat
ini, banyak sekali perdebatan mengenai pasar tradisional melawan pasar modern.
Segalanya bermula ketika banyak pedagang pasar tradisional yang “ngandang”
alias gulung tikar diakibatkan oleh menjamurnya pasar – pasar modern. Banyak
sudah pendapat dan pandangan para ahli digulirkan. Peraturan Presiden yang
mengatur tentang hal ini pun juga telah dikeluarkan. Lalu sebenarnya bagaimana sebenarnya
fenomena ini dipandang dari sudut pandang Islam? Tulisan ini akan mencoba
menjawabnya.
Secara
umum pengertian pasar adalah kegiatan penjual dan pembeli yang melayani
transaksi jual-beli. Pengkategorian pasar tradisional dan pasar modern sebenarnya
baru muncul belakangan ini ketika mulai bermunculannya pasar swalayan,
supermarket, hypermarket dsb.
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan
adanya transaksi penjual pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri
dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual
maupun suatu pengelola pasar. Sedangkan Pasar modern adalah pasar yang penjual dan pembeli
tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang
tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara
mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga .
Permasalahan
segera timbul tatkala pasar modern sedikit demi sedikit mulai menggerus
keberadaan pasar tradisional. Dengan kondisi dan suasana belanja yang lebih
bersih, nyaman, serta segala yang diperlukan ada di sana, membuat orang
cenderung untuk meninggalkan pasar tradisional. Di sisi lain, makin lama barang
– barang yang diperjualbelikan di pasar modern dan pasar tradisional pun hampir
mirip.
Bahkan harganya pun cenderung bersaing dengan
pedagang di pasar tradisional dan bahkan pada beberapa kasus harga di pasar
modern jauh lebih murah.
Melihat
hal ini, pemerintah pun segera mengeluarkan peraturan presiden yang mengatur
masalah ini. Sebagian besar dari isi peraturan presiden itu adalah tentang
zonasi atau pengaturan letak pasar modern terhadap pasar tradisional. Misalnya
saja pengaturan tentang hypermarket yang menurut Perpres itu harus berada hanya
pada jalan – jalan utama yang besar dsb.
Sebenarnya
keefektifan Perpres itu sangat diragukan karena sama sekali tidak menyelesaikan
akar masalahnya. Akar masalah yang sebenarnya bukanlah masalah zonasi tetapi
hanya kurangnya perhatian pemerintah kepada masyarakat. Padahal seharusnya
pemerintah sebagai ri’ayatus syu’unil ummah (pelayan terhadap urusan umat)
melakukan arahan – arahan serta bimbingan kepada masyarakat mengenai
revitalisasi pasar tradisional.
Pada
dasarnya hukum – hukum yang terkait dengan masalah pasar adalah hukum – hukum
yang terkait dengan perdagangan. Perdagangan itu sendiri bisa dipilah menjadi
dua, yaitu perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri. Perdagangan
dalam negeri adalah transaksi penjualan dan pembelian yang terjadi di antara
individu terhadap barang yang menjadi hak milik mereka; baik hasil produksi
mereka maupun hasil produksi orang lain; baik yang berupa hasil produksi
pertanian ataupun industri, namun pertukarannya terjadi di dalam negeri mereka.
Mengenai perdagangan dalam negeri, tidak ada masalah dan tidak ada ketentuan –
ketentuan yang macam – macam selain hukum – hukum jual beli yang telah
dinyatakan oleh syara’. Sedangkan barang, jenis barang serta pengiriman barang
dalam negeri dari satu negara ke negara lain, diserahkan kepada masing – masing
orang yang akan melakukan perdagangan, sesuai dengan ketentuan hukum – hukum
syara’. Dalam hal ini, negara tidak berhak ikut campur dalam perdagangan dalam
negeri, selain hanya berhak untuk memberikan pengarahan saja.
Adapun
perdagangan luar negeri (foreign trade) adalah pembelian barang dari luar
negeri dan penjualan barang dalam negeri ke luar negeri; baik barang tersebut
merupakan hasil produksi pertanian ataupun hasil industri. Perdagangan luar
negeri inilah yang harus tunduk secara langsung kepada kebijakan politik
negara. Negaralah yang mengendalikan secara langsung kebijakan untuk mengimpor
dan mengekspor barang, termasuk terhadap para pedagang kafir harbi (kafir
musuh) maupun kafir mu’ahid (kafir yang terikat perjanjian) (An-Nabhani,
Taqiyuddin.2002.Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam.Risalah
Gusti. Halaman 150).
Berkaitan
dengan pasar itu sendiri, sebenarnya tidak perlu campur tangan pemerintah yang
muluk – muluk. Salah satunya paling hanya campur tangan pemerintah mengenai
perawatan dan penjagaannya mengingat pasar juga merupakan salah satu fasilitas
umum.
Dalam
khasanah fiqh, perdebatan yang berhubungan dengan pasar paling hanya seputar
perdebatan mengenai larangan mencegat pedagang yang hendak berjualan di pasar.
Malik berpendapat bahwa maksud larangan tersebut berkenaan dengan orang – orang
pasar, agar bukan orang yang mendatangi rombongan pedagang saja yang bisa
mendapatkan barang murah, sementara orang – orang pasar tidak mendapatkannya.
Batasan tidak boleh mencegat itu dalam mazhab Maliki ialah sekitar 6 mil.
Syafi’i berpendapat bahwa maksud larangan Nabi saw. di atas itu khusus bagi
penjual, agar dia tidak tertipu oleh orang yang mencegatnya di perjalanan
karena penjual belum mengetahui harga barangnya di negeri itu. Perbedaan
penafsiran ini keduanya didasarkan pada hadis Rasul saw :
“Jangan
kamu cegat pedagang yang sedang membawa dagangannya ke pasar. Lalu apabila
seseorang mendapati suatu barang darinya kemudian membelinya, pedagang
diperbolehkan memilih (untuk menjual atau tidak) setelah sampai di pasar.” HR
Muslim dan yang lainnya. (Ibnu Rusyd.Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid jilid 2 Halaman
362)
Oleh
karena itu, sebenarnya tidak ada larangan bagi penjual untuk mendirikan
supermarket, hypermarket ataupun yang lainnya. Selama mereka mengikuti kaidah
jual beli sesuai syariat Islam maka selama itu pula mereka boleh melakukan
usahanya.
Sedangkan
kondisi sekarang ini itu lebih dikarenakan oleh tidak perhatiannya pemerintah
terhadap fasilitas umum seperti pasar tradisional dewasa ini. Pasar tradisional
identik dengan kumuh, bau, kotor dsb. Seharusnya baik itu karena ada pasar
modern yang lebih bersih dan rapi ataupun tidak, penataan dan perawatan pasar
tradisional seharusnya tetap dilakukan. Bukannya seperti sekarang ini yang
muncul istilah baru yaitu revitalisasi pasar. Sebenarnya hal itu hanyalah
menunjukkan ketidakpedulian pemerintah selama ini.
Kalaupun
ada pedagang yang gulung tikar, itu pun sebenarnya juga tidak menjadi masalah.
Yang menjadi masalah kan setelah mereka itu gulung tikar, mereka menganggur
bukannya malah mendapatkan pekerjaan lain yang baru. Ini juga sebenarnya
terkait dengan kegagalan pemerintah dalam membuka lapangan kerja bagi
rakyatnya. Bangkrut karena kalah bersaing dengan orang lain dalam berdagang itu
wajar. Tetapi yang tidak wajar adalah sangat susah mendapatkan pekerjaan
setelah bangkrut itu. Nah ini sebenarnya yang menjadi masalah yaitu kurangnya
lapangan kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar